Perkembangan Ilmu Qiraat di Nusantara
Oleh : Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA*
Pendahuluan
Al-Qur’an pada awalnya berada di Lauh Mahfuzh kemudian diturunkan sekaligus ke langit dunia. Setelah itu secara berangsur Al-Qur’an di wahyukan kepada Nabi Muhammad selama lebih dari 22 tahun. Proses pewahyuan Al-Qur’an dari Malaikat JIbril kepada Nabi Muhammad berlangsung relative cepat karena Malaikat JIbril langsung menghembuskan/memasukkan/mentransfer AlQur’an kepada “Ru’ (jiwa) nya nabi sebagaimana disebutkan pada ayat :
{وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)} [الشعراء: 192 - 195]
Ketika malaikat JIbril mentrasfer bacaan Al-Qur’an kepada nabi, beliau mengiku mengikuti bacaan malaikat Jibril dengan menggerak gerakkan lisannya, namun Allah meminta nabi untuk tetap diam dan mendengarkan bacaan Malaikat JIbril. Allah berjanji akan menghimpunkan semua ayat Al-Qur’an ke hati nabi. Allah berfirman :
{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)} [القيامة: 16 - 19]
Pada ayat tersebut bersisi tentang janji Allah untuk menghimpun Al-Qur’an di dada nabi, kewajiban membaca Al-Qur’an sesuai dengan bacaan sang Guru yaitu Malaikat Jibril dan janji Allah untuk memberikan penjelasan terhadap isi kandungan Al-Qur’an. Tidak berapa lama nabi mensosialisasikan Al-Qur’an kepada para sahabatnya melalui pengajaran bacaan Al-Qur’an sedikit demi sedikit. Membikin kader kader terbaiknya dalam membaca Al-Qur’an seperti Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain lainnya
Nabi adalah seorang yang paham akan keadaan masyarakat arab, baik dari adat istiadat maupun dialeknya. Oleh karena itu Nabi membacakan Al-Qur’an dengan berbagai varian bacaan untuk memudahkan bagi para sahabat karena mereka berasal dari beragam kabilah yang mempunyai dialek yang beragam. Hadis tentang hal ini sangat masyhur yaitu hadis “Sab’ati Ahruf” yaitu :
جامع الأصول في أحاديث الرسول (2/ 480)
إنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم كان عندَ أَضاةِ بَنيِ غِفارٍ ،[ص:481] فأتاه جبريلُ -عليه السلام -، فقال : إنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ أنْ تَقَرَأَ أُمَّتُكَ القرآن على حرفٍ ، فقال : أَسألُ اللهَ مُعَافاتَهُ ومَغْفِرَتَهُ ، وإنَّ أُمَّتي لا تُطيقُ ذلك ، ثم أتاه الثاني ، فقال : إنَّ اللهَ يأْمُرَكَ أنْ تقرأ أمَّتُكَ القرآنَ على حرفين ، فقال : أَسألُ اللهَ مُعَافاتَهُ ومَغْفِرَتَهُ ، وإنَّ أُمَّتي لا تُطيقُ ذلك ، ثم جاء الثالثة فقال: إن الله يأمرك أن تقرأ أمَّتُكَ القرآن على ثلاثِة أَحرفٍ، فقال : أَسألُ اللهَ مُعَافاتَهُ ومَغْفِرَتَهُ ، وإنَّ أُمَّتي لا تُطيقُ ذلك ، ثم جاءه الرابعة ، فقال: إن الله يأمرك أن تقرأ أمتُك القرآن على سبعة أحرفٍ ، فَأَيُّما حَرْفٍ قرَءوا عليه فقد أصابُوا. هذه رواية مسلم.
جامع الأصول في أحاديث الرسول (2/ 478)
إنَّ هذا القرآنَ أُنزِلَ على سَبْعَةِ أحرُفٍ ، فَاقرَءوا ما تَيَسَّرَ مِنْهُ».أخرجه الجماعة
Perlu diketahui bahwa dialek kabilah arab bisa dibagi dalam dua kelompok: pertama dialeknya suku suku yang ada di sebelah timur semenanjung Arabia seperti suku Tamim, Qais bin Sa’d dan lain lainnya. Suku suku tersebut disebut dengan suku suku Badawi (perkampungan). Kedua : suku suku yang berada di sebelah barat semenanjung Arabia seperti kabilah Quraisy. Kedua suku tersebut mempunyai karakteristik pada dialek mereka. Contoh dialek suku Tamim adalah : Imalah, idgham, membaca hamzah dengan tahqiq dan lain sebagainya. Contoh dialek Quraisy adalah : sedikit menggunakan Imalah, membaca Izhhar, hamzah banyak yang diperlunak bacaannya seperti Tas-hil, Naql, Hadzf, ibdal dengan huruf mad dan lain sebagainya.
Bacaan Para sahabat yang mengambil bacaan dari nabi itulah yang mereka ajarkan kepada masyarakat. Sebgaimana diketahui bahwa pada masa sahabat Umar, banyak sahabat di utus ke berbgai negeri seperti Kufah ( Ibn Mas’ud), di Basrah (Abu Musa al Asy’ari) di Syam (Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’). Beberapa lama kemudian muncul komunitas Al-Qur’an di setiap negeri, lalu muncul para ahlul Qur’an di setiap negeri. (Lih. Ibn al Jazari: an Nasyr h.
Pada permulaan abad kedua muncul kegiatan penulisan kitab kitab tentang Qira’at yang bersumber dari para ahli Qur’an.
Pada mulanya Qira’at yang ditulis masih sedikit. Namun pada abad ke tiga jumlah qira’at yang ditulis semakin banyak. Abu Ubaid bin Qasim bin Sallam (w 224 h) menghimpun 25 Qari’, lalu Ibnu Jarir ath THabari (310) menghimpun lebih dari 20 Imam dan lain sebagainya. Pada paruh pertama abad ke empat Hijriyah muncul Ibnu Mujahid Ahmad bin Musa (w 324 h) yang menulis kitab “as Sab’ah”. Inilah babak baru dalam perjalanan Ilmu Qira’at.
Masyarakat akhirnya berkonsentrasi kepada bacaan Imam Tujuh (Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim , Hamzah dan Kisa’i). Fokus pada Qira’at Sab’ah terus berlangsung sampai abad ke 9 yaitu Ibn al Jazari (w 833 h) yang berhasil meyakinkan masyarakat tentang kesahihan Qira’atnya tiga Imam yang lain yaitu Abu Ja’far, Ya’qub dan Khalaf (al “asyir). Maka muncullah istilah al Qira’at al ‘Asyr.
Pada periode selanjutnya al Qira’at ada dua macam yaitu ash Sughra dan al-Kubra. Ashshughra adalah himpunan Qira’at yang ada pada matan “Syathibiyyah” ditambah dengan matan “ad Durrah al Mudli’ah fil Qira’at ats Tsalats al Mutammimah lil ‘Asyrah” karya Ibn al Jazari. Kedua adalah al Qir’aat al ‘Asyr al Kubra yaitu Qir’aat yang ada pada matan “Thayyibatunnasyr” karya Ibn al Jazari. Inilah puncak pembelajaran Ilmu Qira’at sampai saat ini.
Penyebaran Qira’at
Ilmu Qira’at Tujuh telah tersebar di seantero negeri negeri islam. Puncaknya pada abad ke 5 hijriyah. Sejalan dengan perobahan politik di negeri negeri tersebut, Qira’at yang tersebar semakin menyusut tinggal beberapa saja yaitu : Qira’at Nafi’ riwayat Qalun dan Warsy tersebar di Marocco, Libia, Sudan dan beberapa Negara di Afrika utara. Lalu Qira’at Abu ‘Amr riwayat Duri tersebar di Sudan, yaman. Kemudian Qira’at ‘Ashim al-Kufi riwayat Hafsh merambah ke hampir ¾ dunia islam.
Penyebaran Qira’at di Nusantara
Penyebaran Qira’at di Nusantara terkait dengan masuknya islam dan penyebarannya di Nusantara. Ada tiga teori tentang masuknya islam di nusantara: pertama teori Arab (Yaman dan sekitarnya). Kedua : teori Persia. Ketiga : teori India (Lih.Wawan Djunaidi: Sejarah Qira’at Al-Qur’an di Nusantara Pustaka StaiNU, Cet kedua 2008) . Ketiga negeri itu jika dilihat di peta adalah negeri yang dilalui oleh para pedagang dari negeri Arab menuju ke Indonesia timur sampai ke Kanton di Cina. Pelabuhan Basrah di Irak adalah titik awal para pedagang yang akan menuju ke negeri negeri timur.
Dalam perjalanan menuju negeri Cina, mereka mampir di beberapa pelabuhan antara lain pinggiran sungai Musi di Palembang yang pada masa lalu menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya (Wawan.) Kawasan inilah yang menghubungkan antara Timur Tengah dengan Timur jauh. Bisa dipahami jika kedekatan Basrah dan Kufah inilah yang menjadikan Qira’at ‘Ashim, khususnya riwayat Hafsh yang dibawa oleh pada pedagang muslim ke seluruh negeri timur.
Dalam sejarah, Islam sudah masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijrah atau abad ke 8 masehi. Namun menurut pakar sejarah Nusantara Agus Sunyoto, walau islam islam sudah masuk ke Indonesia semenjak abad pertema Hijrah, tapi islam baru berkembang pesat di Jawa pada era Wali Songo yaitu pada abad ke 16 masehi. Metode dakwah Wali Songo dalam menyebarkan agama islam inilah yang menjadi berkembang pesatnya islam di Indonesia. Wali Songo tidak menyingkirkan budaya setempat tapi merawat, merangkulnya, mengemong budaya setempat dan mengisinya dengan nilai nilai keislaman.
Dalam sejarah masuknya islam di Indonesia kerap disebutkan tentang banyaknya orang islam di Indonesia yang melakukan haji pada sekitar abad 14-15 terlebih pada abad ke 19.
Diantara mereka ada yang menuntut ilmu pada para masyayikh di Mekah. Diantara mereka ada yang akhirnya menjadi ulama yang cukup tersohor seperti Syekh Yusuf al Makasari, Syekh Abdurrauf as Siingkli, Syekh Khatib al Minangkabawi, Syekh Abdussamad al Palembani,Syekh Nawawi al Bantani ( w1897 m), Syekh Arsyad al Banjari, Syekh Nuruddin ar Ranirri, Syakh Khatib Sambas (Kalimantan), Syekh Mahfuzh at Termasi dan lain lain. Mereka adalah ulama yang menguasai bermacam ilmu, utamanya ilmu fikih dan gramatika bahasa arab.
Namun diantara mereka ada yang mendalami Ilmu Qira’at diantaranya adalah Syekh Mahfuzh at Turmusi pengarang kitab “Ghunyatuththalabah fi Syarh ath THayyibah” dan Kiai Haji Munawwir bin Abdullah Rasyad dari Krapyak Yogyakarta.
Dari pelacakan yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementrian Agama, ditemukan ada 5 sanad ternama di Indonesia yang terkait dengan penyebaran tahfizh Al Qur’an di Indonesia. Lima sanad itu ialah :
1.K.H Muhammad Said bin Ismail Sampang Madura
2.K.H, Munawwar Sidayu Gresik
3.K.H Muhammad Mahfuzh at Termasi
4.K.H. Muhammad Munawwir Krapyak Yogyakarta
5.K.H.Dahlan Khalil Rejoso Jombang.
Jalur sanad lima tokoh diatas bertemu pada Syekh Nasiruddin ath THablawi dan Syekh Abu Yahya Zakariyya al Anshari. (lih.Memelihara Kemurnian Al-Qur’an,Profil Lembaga Tahfizh Al-Qur’an di Nusantara 2011.)
Kelima tokoh itu mempunyai banyak murid yang akhirnya mendirikan pesantren Tahfizh Al-Qur’an di tempatnya masing masing. Diantara kelima tokoh itu K.H Munawwir dari Yogya yang punya pengaruh yang cukup besar di Jawa adalah K.H Munawwir. Beliau telah berhasil membikin kader Ilmu Qira’at Diantara murid muridnya yang berpengaruh antara lain K.H. Arwani Amin dari Kudus. Kitabnya “Faidlul Barakat” merupakan karya puncak dalam Ilmu Qira’at di Indonesia sampai saat ini. semenjak saat itu Ilmu Qira’at mulai banyak peminatnya. Hanya saja terbatas pada pesantren pesantren tradisional.
Pada tahun 70 an setelah berdiri PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) (1971) di Jakarta, Prof Ibrahim Hosen selaku Rektor PTIQ mengundang beberapa masyayikh dari Mesir untuk mengajar Qira’at dan Tilawah Al-Qur’an. Diperkenalkanlah Nazham Syathibiyyah kepada mahasiswa PTIQ saat itu, Walau belum maksimal, tapi patut di tulis dalam sejarah perkembangan Ilmu Qira’at di Indonesia. Dari para masyayikh itulah muncul para qari’ di Indonesia yang mempunyai pengaruh besar dalam kancah Tilawatil Qur’an terutama dalam hal Nagham Al-Qur’an. Setelah PTIQ di Jakarta, muncul IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) ( th 1977) yang mempunyai Visi yang sama.
Kemudian muncul beberapa PT serupa di Wonosobo berdiri IIQ Wonosobo (1988) yang akhirnya berobah menjadi UNSIQ (Universitas Sains Ulum Al-Qur’an) (2001), lalu STAIPIQ (Sekolah Tinggi Agama Islam-Pengembangan Ilmu Al-Qur’an) (1981) di Padang Sumbar.
Semenjak kedatangan para mahasiswa yang menuntut ilmu di Kulliyyatul Qur’an di Madinah ke PTIQ dan IIQ, pengajaran Ilmu Qira’at lebih di intensifkan lagi. Para mahasiswa/I di kedua perguruan itu semakin banyak mengenal Ilmu Qira’at. Ilmu Qira’at semakin banyak di minati setelah di arena MTQN disertakan cabang Qira’at , walau masih terbatas pada riwayat tertentu.
Pada saat ini, banyak huffazh Al-Qur’an di Indonesia yang diberi kesempatan untuk menjadi imam dik masjid masjid di UNi Emir Arab dan Di Qatar. Disana mereka belajar Ilmu Qira’at dari para masyayikh dari Mesir. Begitu juga banyak mahasiswa Indonesia yang masih belajar di Kulliyyatul Qur’an di Madinah dan di Ma’had Qira’at di Syubra Kairo Mesir dan Kulliyyatul Qur’an di Thantha Mesir.
Banyak dari mereka yang sudah mendapatkan sanad Qira’at al ‘as Sab’ atau al ‘Asyr dari institusi institusi diatas. Saat ini sudah di Launching pada hari Ahad 7 Februari 2021 satu organisasi bernama : Markaz Qira’at Indonesia” yang bergerak dalam Ilmu Qira’at yang digagas oleh para ikhwan yang telah mendapatkan sanad Qira’at dari para masyayikh di Timteng. Semoga perkembangan Ilmu Qira’at semakin maju di masa masa yang akan datang. Amin.
Pesantren Dar Al-Qur’an Kebon Baru
Arjawinangun Cirebon
2 Maret 2021.
*Di sampaikan dalam acara Kuliah Tamu di Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an (STIQ) Al Lathifiyyah Palembang 4 Maret 2021 bersama Muhammad Abid Muaffan, Peneliti Sanad Qiraat Nusantara
*Bagi yang menginginkan materi kami berjudul Menelusuri Sanad Qiraat Sumatera Selatan dalam bentuk PDF bisa menghubungi nomer berikut 085282983758 (Abid Muaffan)
Dikutip dari FB : Muhammad Abid Muaffan